Fungsi Badan POM Dipertanyakan
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mempertanyakan bagaimana caranya agar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) dapat berfungsi dengan baik dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Pertanyaan ini diajukan beberapa anggota Baleg DPR saat rapat dengar pendapat umum dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) dan Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia (Aspetri), Senin (11/7) yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Dimyati Natakusumah.
Sore itu, Baleg DPR mengundang berbagai instansi yang terkait dengan kesehatan untuk mendapatkan masukan-masukan terhadap RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan serta Pemanfaatan Obat Asli Indonesia yang menjadi usul inisiatif DPR.
Anggota Baleg Achmad Rubaie mengatakan, sudah ribuan obat bermerek yang beredar di pasaran, juga ribuan obat tradisional yang beredar serta tak terhitung jumlahnya produk makanan yang memerlukan kerja keras dari jajaran Badan POM untuk melakukan pengawasan.
UU ini, kata Rubaie, perlu dibuat secara komprehensif sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang terkait dengan obat dan makanan. Karena itu, masukan-masukan ini sangat diharapkan untuk dapat lebih menyempurnakan Draf Rancangan Undang-Undang dimaksud.
Sementara Anggota Baleg lainnya, Jamaluddin Jafar menanyakan, jika pegawai di jajaran Badan POM dinilai kurang expert, kriteria-kriteria apa yang dapat dipakai di Badan ini untuk dapat menjadi badan pengawas yang kredibel dan memiliki pegawai yang handal di bidangnya.
Dalam memberikan masukannya, Ketua Umum IDI Prijo Sidipratomo mengatakan, salah satu permasalahan pengawasan obat dan makanan adalah keprihatinan terhadap Badan POM yang belum dapat berbuat maksimal dalam menangani berbagai permasalahan obat dan makanan.
Prijo menambahkan, IDI juga merasa prihatin banyaknya pegawai yang kurang expert di Badan POM, sehingga perlu direformasi. Menurutnya, komposisi Badan POM sekarang tidak lazim dibandingkan dengan Badan POM di luar negeri. Seharusnya, kata Prijo, posisi di Badan POM ini diisi oleh berbagai pakar yang ahli dibidangnya.
Untuk itu IDI mengusulkan, perlunya ditingkatkan kinerja Badan POM atau dilakukan revitalisasi dari Badan POM untuk dapat melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Direformasinya Badan POM dengan menempatkan orang-orang yang expert didalamnya. Sebagai contoh, ahli Farmakologi, ahli Mikrobiologi, ahli Toksikologi, ahli Biokimia, ahli Biologi, ahli Parasitologi, ahli Virologi, Apoteker/Farmasis, ahli Kimia dan lain-lainnya, sehingga dalam melaksanakan tugasnya dapat dilakukan dengan optimal.
Selama ini, IDI menilai kondisi yang ada di Badan POM mayoritas diisi dari Apoteker/Farmasi.
Mengingat tugas Badan POM sangat penting dalam melindungi masyarakat, IDI mengusulkan pemilihan Pimpinan Badan POM sebaiknya dipilih dengan cara fit and proper test, sehingga lebih akuntabel. Dia juga mengusulkan, sebaiknya Pimpinan Badan POM dilakukan secara kolektif (3 orang).
Dalam kesempatan tersebut, IDI juga mengusulkan dilibatkannya Ikatan Dokter Indonesia dalam ikut mengawasi obat, makanan dan minuman serta pengawasan terhadap Badan POM itu sendiri.
Hal ini ditujukan semata-mata untuk perlindungan terhadap masyarakat dan merupakan bagian dari pengawasan independen.
Sementara Ikatan Apoteker Indonesia memberikan usulan perubahan judul terhadap RUU dimaksud. IAI mengusulkan sebaiknya judul RUU tersebut adalah RUU Farmasi, alat Kesehatan dan Makanan.
Menurutnya, judul ini lebih strategis dan lebih komprehensif mengingat sudah ada 16.000 merk obat yang beredar di pasaran, ribuan merk obat tradisional dan ribuan merk makanan.”Apabila kita mempunyai payung hukum yang sentral, masalah obat akan dapat terpecahkan,” kata Ketua IAI.
Ketua ASPETRI, Yasmin mengatakan, sebagai asosiasi yang bergerak untuk menghimpun seluruh ramuan Indonesia perlu mendapatkan payung hukum yang dapat mengayomi ramuan asli Indonesia. Dengan adanya payung hukum, obat tradisional Indonesia diharapkan dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Keprihatinan yang dirasakan selama ini, banyak beredarnya obat-obat tradisional yang datang dari negara lain seperti Cina maupun Vietnam. Label obat tradisional dari luar negeri ini bahkan menggunakan bahasa negara asalnya yang tentunya dikhawatirkan tidak akan dimengerti sepenuhnya oleh masyarakat. Di sini diperlukan pengawasan serius, jika tidak obat-obat tradisional ini akan semakin merajai di negara kita.
Namun menurutnya, hal yang tak kalah pentingnya diperlukan juga sebuah UU tentang Perlindungan Tanaman Berkhasiat. (tt) foto:Ry